Karawang, MajalahPerjuangan.com — Besar harapan memiliki gedung sekolah yang kokoh dan representatif bagi anak-anak di SDN Pasirkamuning 2, Karawang, kini diselimuti tanda tanya. Proyek rehabilitasi dan penambahan sarana senilai Rp 1.094.648.780 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya menjadi kebanggaan, justru menuai keraguan di mata warga dan praktisi konstruksi.
Anggaran lebih dari Rp 1 miliar lazimnya menjanjikan kualitas bangunan terbaik, salah satunya dengan penggunaan material standar seperti batu bata merah. Namun, warga setempat terkejut melihat dinding proyek ini dibangun menggunakan batu bata ringan atau hebel.
"Seperti proyek Rulahu untuk orang kurang mampu saja," ujar seorang warga yang mengaku memiliki pemahaman konstruksi, dengan nada kecewa.
Menurutnya, anggaran fantastis dari APBN untuk pembangunan fisik gedung sekolah seharusnya menggunakan batu bata merah, standar yang ia yakini lebih sesuai untuk kekuatan dan daya tahan bangunan publik. Perbedaan material ini memicu spekulasi: apakah ada "penyimpangan" dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang telah disepakati?
Kepala Sekolah Jadi Tumpuan Utama
Proyek Rehabilitasi Gedung SDN Pasirkamuning 2 ini berada di bawah tanggung jawab Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) SDN Pasirkamuning 2. Dalam struktur ini, Kepala Sekolah, Ibu Dewi Ratnawati S.Pd, bertindak sebagai Penanggung Jawab utama.
Kejanggalan ini terasa kian membebani tugas Kepala Sekolah. Salah satu guru di SDN Pasirkamuning 2 menuturkan, peran Komite Sekolah dalam proyek ini telah "diminimalisir".
"Tiap hari Kepsek yang bolak-balik ke Disdikpora Karawang terkait laporan progres pekerjaan, jadi jarang ke sekolah. Hari inipun beliau tidak ada di sekolah," ungkap sang guru, Rabu (29/10), saat dikonfirmasi di lokasi.
Aktivitas beliau yang terfokus pada pelaporan proyek menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab ini dipikul sendiri oleh seorang pendidik, yang seharusnya lebih banyak fokus pada mutu pengajaran.
Pengakuan Pekerja Memperkuat Dugaan
Di lokasi proyek, pengakuan dari salah seorang pekerja bangunan kian memperjelas kondisi di lapangan.
"Memang benar untuk pekerjaan dinding lantai bawah dan juga dinding lantai atas menggunakan bata hebel atau batu bata ringan, tidak gunakan bata merah seperti yang sudah-sudah," ujar pekerja yang mengaku berasal dari Cicinde, Jatisari, dan telah bekerja selama sebulan.
Ia menambahkan bahwa pemborong proyek adalah orang Telukjambe, meski identitas lengkapnya tidak ia ketahui. Fakta penggunaan bata ringan ini menjadi titik krusial yang menuntut penjelasan transparan dari pihak penanggung jawab dan instansi terkait.
Ini adalah wajah dari dilema pembangunan kita. Di satu sisi, ada dana besar dari negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui sarana prasarana. Di sisi lain, muncul keraguan mendasar tentang kualitas material yang digunakan.
Harapan warga, guru, dan para siswa hanyalah satu: Proyek miliaran rupiah ini harus menghasilkan gedung sekolah yang aman, kuat, dan tahan lama. Lebih dari sekadar batu bata, ini adalah soal kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pendidikan dan jaminan mutu untuk masa depan anak bangsa.
Semua mata kini tertuju pada klarifikasi resmi dari Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang. Mereka diharapkan dapat menjawab tuntas: Apakah penggunaan bata ringan ini sudah sesuai RAB, dan yang terpenting, apakah kualitasnya mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan belajar anak-anak?
(Hamid/Ahass).


0 Komentar